Analisis Wacana
Kohesi
Oleh:
Yasirly Amrina
(0910722031)
Novitriani (0910721008)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Wacana
mengkaji satuan yang lebih luas, wacana juga memperhatikan penggunaan bahasa
dalam konteksnya. Wacana juga merupakan hasil dari rekaman komunikasi yang
dituangkan secara lisan maupun tulisan. Dalam komunikasi, bahasa akan berada di
dalam konteksnya, yaitu unsur-unsur yang mempengaruhi situasi kebahasaan itu
sendiri.
Wacana yang sesuai dengan teks dan
konteksnya dibangun dari struktur internal wacana itu sendiri. Salah satu unsur
internal tersebut adalah kohesi. Kalimat yang dipakai dalam wacana bertautan,
pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berurutan. Kohesi
adalah aspek yang membuat teks atau wacana menjadi padu. Aspek tersebut jugalah
yang membuat wacana dapat dikatakan baik. Jadi wacana yang utuh adalah wacana
yang kohesi dan koherensi.
Aspek yang terdapat di dalam kohesi
dibagi menjadi dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kedua
kohesi ini dibagi lagi menjadi aspek-aspek yang lebih kecil. Banyaknya unsur
yang membangun wacana merupakan kajian dalam analisis wacana. Bagaimana wacana
dibangun dan unsur-unsur apa yang membangun wacana sehingga wacana tersebut
menjadi padu dan bermakna ututh. Kajian yang banyak tersebutlah yang menjadi
alasan dalam penulisan makalah ini.
1.2.
Masalah
Dari latar belakang yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka masalah yang ada adalah:
1.2.1. Apa
yang dimaksud dengan kohesi?
1.2.2. Aspek-aspek
apa saja yang berada di dalam kohesi?
1.3.
Batasan
Masalah
Dari masalah yang ada, maka batasan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1. Menjelaskan
pengertian kohesi.
1.3.2. Menjelaskan
aspek-aspek kohesi di dalam wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
Kohesi
merupakan aspek-aspek yang membentuk sebuah wacana sehingga wacana tersebut
menjadi utuh. Menurut Halliday (dalam Oktavfianus, 2006:53) kohesi merupakan
hubungan semantis yang ada dalam suatu teks. Aspek tersebut membentuk makna di
dalam wacana menjadi berhubungan. Tarigan (1987) menjelaskan lebih lanjut bahwa
kohesi mengacu kepada aspek formal bahasa dalam wacana.
Aspek
formal bahasa dalam wacana berupa susunan kalimat-kalimat yang membentuk
kesatuan menjadi wacana. Susunan kalimat dalam hal ini adalah hubungannya di
dalam wacana secara gramatikal maupun leksikal. Hubungan tersebut dapat
bersifat kohesif bila sesuai dengan situasi dalam bahasa. Dengan kata lain
ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan konteks, akan menghasilkan teks
yang tidak kohesif (James dalam Tarigan, 1987:97).
Menurut
Oktafianus (2006:53), kohesi akan muncul apabila interpretasi suatu unsur
tergantung pada unsur lain dalam suatu teks atau wacana. Kohesi dibagi menjadi
dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal
terdiri dari referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, sedangkan kohesi
leksikal terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan kolokasi. Menurut
Halliday dan Hasan (dalam Trigan, 1987:97-103), pembagian kohesi tersebut dibagi
menajadi lima aspek sarana kohesi yaitu pronomina, substitusi, elipsis,
konjungsi, dan kohesi leksikal.
Dari
kedua pembagian aspek kohesi tersebut terdapat beberapa aspek yang sama,
disamping itu terdapat aspek yang dimiliki satu pendapat tetapi tidak dimiliki
pendapat lain, begitu juga sebaliknya. Jika pembagian menurut kedua ahli
tersebut digabungkan, maka aspek kohesi terdiri dari (1) kohesi gramatikal yang
terdiri dari referensi, pronomina, substitusi, elipsis, konjungsi, dan (2)
kohesi leksikal yang terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan
kolokasi. Berikut ini adalah penjelasan aspek-aspek sarana kohesi.
2.1.
Referensi
Referensi
adalah hubungan antara simbol dengan benda yang diacu (Ogden dan Richards dalam
Oktafianus, 2006:53). Referensi merupakan hubungan antara kata dengan benda
yang diterangkannya. Dengan kata lain, referensi merupakan hubungan bahasa
dengan dunia atau semesta dimana ia dipakai dan berkembang. Referensi merupakan satuan lingual
tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau
mengikutinya. Artinya suatu kalimat mengacu pada kalimat lainnya dengan satu
referensi yang sejalan. Terdapat yang diacu dengan yang mengacu.
Referensi dibagi atas beberapa
bagian, yaitu:
2.1.1. Referensi
berdasarkan tempat acuannya
Referensi
berdasarkan acuan ini adalah berkaitan mengenai dimana acuan referensinya
terletak. Referensi berdasarkan tempat acuan ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
Pertama,
pengacuan endofora. Satuan yang diacu dalam pembagian ini terletak di dalam
teks. Bagian ini juga dibagi lagi menjadi: (1) anafora, merupakan satuan yang
mengacu terletak setelah satuan yang diacu. Contonya dalam kalimat Ayah berangkat ke kantor dengan mobil, ia tidak mengendarai mobil sendiri.
Dalam contoh ini dapat dilihat pengacunya (ia) terletak setelah satuan yang
diacu (ayah). Dan (2) katafora, adalah satuan yang mengacu terletak sebelum
satuan yang diacu. Contohnya Dia tidak mampu menahan berat badannya, oleh karena itu adik terjatuh dari ayunan.
Kedua,
pengacuan eksofora. Pengacuan ini adalah apabila satuan yang diacu terletak di
luar teks.
2.1.2. Referensi
berdasarkan tipe satuan lingual
Pertama refensi
personal. Refensi personal mencakup tiga kelas kata ganti diri (pronomina),
yaitu kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, dan kata ganti orang
ketiga. Bentuk-bentuk kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut.
Pronomina
|
Tunggal
|
Jamak
|
Orang pertama
|
Saya,
aku, dan daku
|
Kami
dan kita
|
Orang kedua
|
Anda,
kamu, saudara, engkau, dll.
|
Kalian,
anda, sekalian, dll
|
Orang ketiga
|
Dia,
ia, dan beliau
|
Mereka
|
Kedua refensi
demonstratif. Menurut
Kridalaksana (2008) demonstrativa adalah kata yang dipakai untuk menunjukkan
atau menandai secara khusus orang atau benda. Dalam bahasa Indonesia terdapat
bentuk-bentuk demonstrativ berikut ini: (1) Pronomina demonstratif waktu, waktu
kini (kini dan sekarang), lampau (kemarin dan dulu),
akan datang ( besok dan yang akan datang), dan
waktu netral (pagi dan siang), dan (2) pronomina
demonstratif tempat, mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan
pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu),
jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit nama
tempatnya.
Ketiga
refensi komparatif. Pengacuan komparatif (perbandingan)
adalah membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kemiripan dalam persamaan
sifat, sikap, watak, perilaku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk kataperbandingan
dalam bahasa Indonesia adalah: seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama
dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama
dengan.
2.2.
Pronomina
Aspek
ini juga terdapat dalam bagian aspek referensi. Pronomina dalam bahasa
Indonesia adalah (1) kata ganti diri, seperti saya, aku, kita, kami, kalian, engkau, anda, dll, (2) kata ganti penunjuk, seperti ini, itu, sini, situ, sana, di sini, di situ, dll, (3) kata ganti
empunya, seperti –ku, -mu, -nya, dll,
(4) kata ganti penanya, seperti apa,
siapa, mana, dll, (5) kata ganti penghubung, dalam bahasa indonesia adalah yang, (6) kata ganti tak tentu, seperti siapa-siapa, masing-masing, sesuatu,
seseorang, dan para.
2.3.
Subtitusi
Subtitusi
adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan
yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan
suatu struktur tertentu (Kridalaksan, 2008). Substitusi merupakan hubungan
gramatikal yang lebih bersifat dengan hubungan kata dan makna. Subtitusi dalam
bahasa Indonesia bersifat nominal, verbal, klausa, atau campuran, seperti sama, seperti itu, sedemikian rupa, begitu,
melakukan hal yang sama, dll.
Contoh:
Tahun lalu kami mengunjungi candi Borobudur. Hari ini
tepat setahunnya, kami kembali melakukan
hal yang sama.
Penggunaan
bentuk melakukan hal yang sama dalam
teks di atas merupakan bentuk substitusi. Penggunaan bentuk tersebut
dimaksudkan memperoleh unsur berbeda dari bentuk yang pertama.
2.4.
Elipsis
Elipsis
merupakan peniadaan kata atau satuan lain yang wujud asalnya dapat diramalkan
dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 45). Elipsis
juga dapat dikatakan penggantian nol (zero), yaitu sesuatu yang ada tetapi
tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Menurut Tarigan, elipsis dibedakan
menjadi elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal (dalam Tarigan,
1987:57). Contohnya dapat dilihat dalam dialog berikut:
A : Mau pergi kemana Bu?
B : Ke pasar.
Dalam
kalimat jawab yang seharusnya adalah Saya
mau pergi ke pasar, tetapi dalam contoh dialog di atas tidak demikian.
Penggunaan kalimat yang diungkapkan B telah dapat diterima dan dimengerti oleh
lawan tuturnya, karena tuturan tersebut telah menyampaikan makna yang utuh.
Oleh karena itu, dalam dialog tersebut tidak lagi membutuhkan penggunaan yang
lengkap dan adanya aspek elipsis.
2.5.
Konjungsi
Konjungsi
adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan
frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, serta paragraf dengan
paragraf (Kridalaksana, 1984: 105). Konjungsi terdiri atas, (1) konjungsi
koordinatif, seperti dan, atau, tetapi.
(2) konjungsi subordinatif, seperti meskipun,
kalau, sebelum, supaya, sebab, dll. (3) konjungsi
korelatif, seperti entah, baik, maupun,
dll.
2.6.
Kohesi
Leksikal
Kohesi
leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Ada beberapa cara
untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini:
2.5.1.
Repetisi
Menurut
Oktafianus (2006:63), repetisi merupakan pemunculan bentuk yang sama yang
mengacu ke makna yang sama dalam suatu wacana. Repetisi memiliki berbagai peran
seperti sebagai penegas, penciptaan gaya bahasa dan pengungkapan perasaan
emosi, karenanya repetisi bukan hanya pengulangan bentuk tetapi berperan
pragmatis yang maknanya bergantung pada konteks. Berikut ini adalah contoh
adanya bentuk pengulangan di dalam teks yang bersifat sebagai penegas.
Contoh
:
Apa! Apa kau sudah gila Tono? Baru kemaren
kau dari rumahku, sekarang kau mau minjam uang lagi. Apa kau sudah gila!
2.5.2.
Sinonim
Sinonim
merupakan persamaan arti tetapi memiliki bentuknya berbeda. Kekayaan budaya dan
intensitas kontak dengan bahasa lainnya menentukan warna persinoniman dalam
suatu bahasa (Oktafianus, 2006:64).
Contoh
:
Pola hidup masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa. Cara keseharian mereka disibukkan
dengan pekerjaan kantor dan sebagainya.
2.5.3.
Antonim
Antonim
adalah lawan kata. Suatu wacana yang dinamis juga sering menempatkan kohesi
leksikal secara fleksibel dan variatif dengan mempertentangkan makna yang berlawanan
(Oktafianus, 2006:64).
Contoh
:
Tidak ada yang
tidak mungkin sari, meskipun dia langit
dan kamu bumi. Cinta sejati tidak
akan memandang apapun.
2.5.4.
Hiponim
Menurut
Oktafianus (2006:64), hiponim adalah hubungan kata-kata yang bersifat generik
ke kata-kata yang lebih spesifik. Penggunaan hiponim dimaksudkan untuk
menghindari pengulangan kata-kata yang sama muncul dan membentuk suatu medan
makna sehingga ia dapat digunakan untuk membangun suatu wacana yang memiliki variasi
bentuk leksikal.
Contoh
:
Bayam, kangkung,
dan kol. Semua sayuran itu adalah kesukaanku.
2.5.5.
Kolokasi
Kolokasi
merupakan persandingan kata. Kata-kata yang bersanding memilki satu atau lebih
ciri yang sama. Misalanya buku, koran,
majalah, dan media massa. Semua
bentuk tersebut adalah kolokasi, karena sama-sama bahan bacaan.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di dalam makalah ini dapat disimpulkan: wacana yang terdiri dari
gabungan unsur-unsur dan gabungan makna dibentuk dan diseragamkan oleh kohesi
beserta aspeknya. Aspek-aspek yang berda dalam kohesi adalah aspek gramatikal
dan aspek leksikal. Aspek gramatikal terdiri dari pronomina, referensi,
substitusi, elipsis, dan konjungsi. Selanjutnya adalah kohesi leksikal yang
terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan kolokasi. Semua aspek
tersebut berada dalam wacana atau teks. Aspek tersebut membangun teks atau
wacana menjadi padu dan sesuai dengan koteks dan konteks.
3.2.
Saran
Dalam penulisan makalah ini
terdapat ketidak sempurnaan bahan dan penjelasan. Oleh karena itu makalah ini
tentunya dapat mendorong penulis-penulis lain untuk melengkapi dan menjelaskah
topik bahasan dengan lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Oktafianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.
Tarigan, H. G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Thanks, ijin copas buat belajar
BalasHapuswahh sgt bermanfaat, btw mksh ya infonya. ijin copas untuk tugas :)
BalasHapus