Jumat, 02 Mei 2014

Antropolinguistik



Antropolinguistik
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak lain kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan.
Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan dan penyebarluasan kebudayaan.
Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena bahasa mencangkup hamper semua aktifitas manusia. Hingga akhirnya linguistic memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisplin, salah satunya adalah antropologi linguistik.
Antopologi lingustik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat.(Lauder,2005:231) Antropologi biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi social budaya. Kajian antropologi linguistic antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep warna, pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adapt, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya.
Contoh: tindak tutur pendeta’….dengan ini, kalian saya nyatakan sebagai suami istri…’ adlah sebuah tindakan melalui bahasa ysng mempunyai otoritas dalam masyarakat untuk mengukuhkan sepasang pengantin menjadi sepasang suami istri yang sah secara hokum dan terterima oleh masyarakat.
Di Amerika yang melopori ilmu antropologi linguistic adalah Franz Boas, sedangkan di Eropa di pakai istilah etnolinguistik (Duranti,1997). Melalui pendekatan antropologi linguistic, kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi;diam dan gesture dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti,2001:1).
Malinowski (dalam Hymes, 1964:4) mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistic dipengaruhi oleh aspek budaya, social, mental, dan psikologis; apa hakekat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan.
Budaya Indonesia sendiri dilihat melalui interdisipliner antropolinguistik, ditegaskan bahwa sistem nilai budaya Indonesia mempunyai pengaruh yang besar atas penggunaan kata ganti orang atau pronominanya. Sesuai dengan teori komunikasi, komunikator dan komunikan komitmen dalam hubungan simetris atau hubungan asimetris. Terjadinya hubungan simetris karena ada kesamaan status sosial, perbedaan mengakibatkan kehadiran asimetris.
Pronomina ketiga tunggal ia/dia berlaku dalam hubungan simetris, namun kata beliau yang fungsinya sama dengan ia/dia hanya dipakai untuk asimetris sehubungan nilai budaya hormat. Kata beliau diperuntukkan terhadap dia yang status sosialnya tinggi: Baru-baru ini Presiden SBY mengunjungi kedua SD Negeri. (1) Ia sempat mengajar anak-anak. (2) Beliau sempat mengajar anak-anak. Kalimat (1) diucapkan oleh orang yang baru belajar.
Walaupun pronomina I saya, aku bersinonim, dalam praktik aplikasinya berbeda. Sebab timbul hubungan simetris/asimetris terhadap pronomina saya, "Permisi, Pak, saya akan membezuk anak sedang sakit," kata pegawai kepada atasannya. "Aku tak sanggup menyelesaikan soal akhir, Bu" ujar siswa kelas 3 SMA kepada gurunya, tidak tahu adat, menganggap dirinya setaraf.
Pronomina kami mempunyai arti (a) komunikator jamak seperti "Ayah, ibu, adik tergabung menjadi Kami bertiga akan berpiknik; (b)sama dengan makna saya ialah honorifiks mayestatis. Biasanya komunikator bertindak sebagai ketua/ wakil ketua/ pemimpin/ kepala misal "Kami (=saya) mengucapkan selamat atas kehadiran bapak/ibu," kata direktur SMA. Tetangga berujar, "Kami tidak mengizinkan ibumu lewat sini." Salah penggunaannya pada pronomina kita terlibat komunikator beserta komunikan hubungannya simetris, marilah kita bersikap dewasa," kata ayahnya membujuk anaknya. Khusus untuk pronomina jamak kami tidak melibatkan komunikan hanya jumlah komunikator banyak..






Apa itu Antropolinguistik, Bahasa dan Kebudayaan ?

Setiap ilmu pengetahuan lazim dibagi atas bidang-bidang cabang-cabang, misalnya, ilmu kimia dibagi atas kimia organic dan anorganik. Atau ilmu psikologi dapat dibagi antara lain atas psikologi klinis dan psikologi social. Memamng setiap ilmu pengetahuan meliputi bahan yang luas sekali, dan demi alas an praktis para ahli suka membagi ilmunya menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang ilmunya.

Demikian ilmu linguistik lazimnya dibagi menjadi bidang bawahan yang bermacam-macam. Misalnya saja, ada Antropologi Linguistik, yaitu cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan oleh para ahli Antropologi Budaya.

Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya Hipotesis Sapir-Whorf saat itu mengatakan bahwa manusia terkungkung oleh bahasa.

Bahasalah yang mempengaruhi pandangan hidup manusia. Manusia tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasanya. Suatu pandangan yang sudah lama ditinggalkan orang, tetapi masih tetap menarik untuk diperbincangkan.Pandangan yang mungkin lebih banyak bisa diterima orang sampai sekarang adalah pandangan sebaliknya, yakni pandangan yang menganggap bahwa kebudayaan atau masyarakatlah yang mempengaruhi bahasa.
Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika bahasa, adat-istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks budayanya, bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya ( Bandingkan Crystal, 1989:412)
Kemungkinan kepunahan bahasa bisa saja terjadi karena masyarakat sudah sekian lama melunturkan budayanya. Dengan melihat salah satu sisi dalam pemakaian “nama” dan gelar kepemimpinan saja dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya.
Misalkan, bahasa Sunda yang memiliki berbagai dialek dan susunan kata bahasa kerap kali dikaburkan penuturnya dengan objek atau subjek yang berbeda. Istilah “abah” sering ditujukan pada kakek. Padahal, kata “abah” adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ditujukan untuk orang tua (bapak), yaitu “aba” atau “abun”, “ya’ba”, “abah”. Di Tasikmalaya, misalnya, istilah “abah” ditemukan “abah sepuh” (bapak tua) dan “abah anom” (bapak muda). Sementara itu, di Banten lebih menggunakan “bapak kolot” (kakek). Kiranya, penuturan kata seperti itu dalam masyarakat jawa bukan dilihat hanya faktor usia, tapi dinisbatkan kepada orang-orang yang memang “dituakan” masyarakat, misalnya karena menjadi panutan. Berbeda dengan kata “abu” (bukan nama seseorang) yang bersinonim dengan kata “embah”. Di Bogor, kata “abu” ditujukan untuk perempuan yang sudah tua (nenek). Penuturan seperti itu mungkin sudah menyalahi aturan bahasa, tapi itulah kenyataannya. Seperti halnya dalam panggeugeut (bhs Sunda), nama “Muhammad” menjadi “Mamat” (kadangkala Memet) yang dilihat dari maknanya akan terlihat jauh. “Muhammad” artinya “terpuji” berarti pula diambil dari nama nabi, sedangkan “Mamat” artinya “mati”. Dilihat dari akar bahasanya (bahasa Arab), sebenarnya kata “umi” dan “mamah” memiliki persamaan yang berarti “ibu”. Kata “ibu” bisa juga penyimpangan dari kata “abu”, begitu seterusnya.Itulah fakta kerancuan bahasa yang terjadi di sekitar kita pada umumnya. Dan apabila dikatakan telah terjadi kepunahan, sesungguhnya telah lama terjadi. Pergaulan masyarakat Indonesia dengan suku-suku bangsa dan agama di dunia masa lalu telah mengakibatkan masyarakat banyak menyerap bahasa Asing ke dalam bahasa sehari-hari, termasuk untuk identitas diri. Misal, karena masuknya (para pedagang Arab) Islam abad ke-9 H/14 M, masyarakat banyak mengubah nama ke-Arab-arab-an.
Sistem budaya asing juga merupakan salah satu penyebab pluralitas budaya. Contohnya yaitu bahasa asing yang masuk di Indonesia. bahasa India contohnya yang telah masuk sejak zaman kerajaan kuno. bahasa India sangat mempengaruhi bahasa di Bali. bahasa Arab berpengaruh bagi bahasa Jawa, bahasa Melayu berpengaruh pada bahasa Aceh dan sekitarnya dan bahasa Cina pada bahasa Betawi.
Kalau begitu, apa yang menjadi kekhususan ilmu linguistik? Ahli linguistik berurusan dengan bahasa sebagai bahasa. Itulah “objek”nya. Jadi ahli linguistik tidak berurusan dengan bahasa sebagai sifat khas golongan social, atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan. Hal tersebut masing-asing menjadi urusan ahli psikologi, ahli sosiologi atau ahli hukum. Yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasa sebagai bahasa.

Ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi antropologi, dan lain sebagainya, sering di sebut ilmu “empiris”. Artinya, ilmu-ilmu tersebut berdasarkan “fakta” dan “data” yang dapat diuji oleh ahli tertentu dan juga oleh semua ahli lainnya. Demikian pula halnya dengan ilmu linguistik.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali. Mereka saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa harus kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. Kajian atau pembicaraan hubungan keduanya pada umumnya dilihat dari ilmu yang mempelajarinya, yakni Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan Antropologi Kultural (ilmu Budaya) bekerja sama dalam mempelajari hubungan bahasa dengan aspek-aspek budaya.

Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh. Dalam kaitannya dengan materi linguistik kebudayaan, Beratha (1998:45) mengatakan bahwa kajian linguistic kebudayaan memfokuskan kajiannya pada makna alamiah metabahasa dan terdiri atas kajian kebudayaan, kajian komunikasi lintas budaya, kajian etnografi berbahasa, serta kajian kebudayaan dan perubahan bahasa (linguistik diakronis). 

Dengan mendengar istilah Antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Artinya, ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga, bahkan harus mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari budayanya. Kedua, hubungan antara bahasa dengan budaya secara umum. Dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap ada satu bahasa dalam satu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya: perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Oleh karena itu, penghitungan bahasa seolah-olah relevan dengan penghitungan budaya bahkan penghitungan etnik. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya.
Menurut Segall dkk (1967) bahwa istilah emik-etik pada mulanya dicetuskan oleh Pike (1966) yang kemudian disepakati hingga sekarang oleh para sarjana psikologi lintas budaya. Pike mula-mula melihat adanya gagasan yang sejalan dalam pendekatan antara rumusan dan pengetrapan teori dengan fonetik dan fonemik. Dalam bidang linguistik, fonemik adalah mempelajari pola-pola bunyi yang digunakan dalam suatu bahasa tertentu. Sedangkan fonetik mencoba untuk mengeneralisir hasil-hasil penelitian fonemik dari berbagai bahasa menjadi satu patokan pola-pola bunyi untuk semua bahasa. Dari fonemik dan fonetik Pike mencopot istilah etik dan emik. Berry (1969) merangkum komentar-komentar Pike pada pemilahan emik-etik sebagaimana yang dipakai dalam psikologi, 

Bahasa yang berbeda sangat menyulitkan masyarakat yang berkunjung ke daerah yang lain. Misalnya seorang Bugis yang datang ke Bali. Tentu sangat sulit untuk melakukan komunikasi. Atau ada pemberitahuan yang disampaikan kepada khalayak ramai dengan menggunakan bahasa daerah, tentu menimbulkan kesalahpahaman bagi pihak yang tidak mengerti.
Peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, dan peranan kebudayaan juga sangat penting dalam memahami bahasa. Banyak terjadi kekeliruan, kesalahpahaman, bahkan perselisihan karena orang tidak dapat menggunakan bahasa yang sesuai dengan budaya peserta komunikasi. Di sisi lain, kemarahan dapat menjadi reda apabila salah satu peserta komunikasi dapat menggunakan bahasa yang santun dan mencerminkan budi yang baik. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa komunikasi melalui bahasa akan mencapai sasarannya apabila peserta komunikasi menempatkan bahasa didalam konteks budayanya. 

2.Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Keeratan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan telah lama dirasakan para linguis dan antropolog sehingga pembicaraan mengenai relasi kedua bidang itu bukanlah topik baru dalam dunia ilmiah, dibawah ada beberapa hubungan bahasa dengan kebudayaan :
1.Bahasa sebagai alat atau sarana kebudayaan.

Dalam hubungan ini, bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisannya. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Pemerkaan khazanah kebudayaan Indonesia melalui kebudayaan daerah dan kebudayaan asing, misalnya, dilakukan dengan menggunakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia tersebut juga disebarkan atau dijelaskan melalui bahasa Indonesia sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, bahasa memainkan peranan penting. Bahkan, sering dinyatakan bahwa kebudayaan dapat terjadi apabila bahasa ada karena bahasalah yang menginginkan terbentuknya kebudayaan.

Bahasa digunakan sebagai ekspresi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling berkaitan, kebudayaan ekspresi, kebudayaan tradisi, dan kebudayaan fisik

2.Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan.
Bahasa dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan karena pembendarahan suatu bangsa (Alisyahbana, 1979) ialah jumlah kekayaan rohani dan jasmani bangsa yang empunya bahasa itu. Tiap-tiap yang berpikir, tiap-tiap yang berbuat, tiap-tiap yang dialami, malahan tiap-tiap yang ditangkap oleh pancaindra bangsa itu dengan sadar dan yang menjadi pengertian dalam kehidupannya, terjelma dalam kata dan menjadi sebagian dari kekayaan perbendaharaan kata bangsa itu. Dan kata yang berpuluh-puluh dan berates-ratus ribu jumlahnya itu sekali lihat rupanya terpisah-pisah dan cerai-berai, tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan kebudayaan bangsa yang empunya bahasa itu.

3.Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan.
Dikaitkan bahwa bahasa (Levi-Strauss, 1972:68) merupakan hasil kebudayaan. Artinya, bahasa yang dipergunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Pada pelaksanaan upacara ritual, yang masing-masing menggunakan bahasa. Peristiwa budaya semacam itu akan menghasilkan bahasa.

4.Bahasa hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya. Jika dibandingkan antara 2dua suku bangsa, kita akan melihat perbedaan makna tersebut.


5.Bahasa sebagai persyaratan kebudayaan.
Pengertian bahasa sebagai persyaratan kebudayaan dapat diartikan dalam dua cara. Pertama, bahasa merupakan persyaratan budaya secara diakronis karena kita mempelajari kebudayaan melalui bahasa. Kedua, berdasarkan sudut pandang yang lebih teoritis, bahasa merupakan persyaratan kebudayaan karena materi atau bahan pembentuk keseluruhan kebudayaan, yakni relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. 

6.Bahasa mempengaruhi cara berpikir.
Bahasa dan berpikir dalam kehidupan manusia adalah dua hal yang sangat mendasar dan saling berhubungan. Kedua hal ini secara khas dan jelas membedakan manusia dari binatang. Dengan bahasa, orang berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan orang lain, sedangkan dengan berpikir, dia dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan yang dihadapinya. Berpikir adalah upaya yang kita lakukan dengan jalan mengorganisasikan serta menggunakan berbagai konsep, berbagai pertimbangan, berbagai kebiasaan, dan berbagai kaidah sebelum suatu tindakan dilakukan. 

7.Cara berpikir mempengaruhi bahasa.
Sebaliknya, ada anggapan bahwa cara berpikir mempengaruhi cara berbahasa atau dengan kata lain, pikiran yang termasuk kebudayaan mental mempengaruhi bahasa. Dalam hal ini, kebudayaan suatu masyarakat (Wardhaugh, 1986:212) berefleksi di dalam bahasa yang mereka pergunakan. Pikiran (kebudayaan mental) mengarah bahasa menjadi bahasa yang berisi, bermakna, dan bermanfaat. Kerusakan pikiran seseorang akan mempengaruhi bahasanya. Jika pikiran seseorang kacau, maka bahasanya juga akan kacau. Pada suatu saat bahasa seseorang mungkin bagus dan terpelihara, tetapi di saat lain bahasanya kurang terjaga. Hal itu sangat tergantung pada keadaan pikiran ketika dia berbahasa. Mungkin, bahasa orang gila masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat, dan tujuannya tidak dapat dipahami. Padahal, bahasa sebagai suatu system komunikasi harus dapat dipahami makna dan tujuannya terutama bagi peserta komunikasi (penyapa dan pesapa).

8.Tata cara berbahasa dipengaruhi norma-norma budaya.
Hubungan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa di dalam tindak komunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya. Tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya yang hidup dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakan bahasa tersebut. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budayanya, maka dia tidak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat atau bahkan tidak berbudaya.

9.Bahasa ditransmisi secara kultural.
Artinya, kemampuan berbahasa ditransmisi dari generasi kegenerasi dengan proses belajar dan bukan secara genetik. Pernyataan ini bukanlah menyangkal bahwa anak-anak dilahirkan dengan kemampuan bawaan (batiniah) terhadap bahasa, melainkan menegaskan perbedaan antara bahasa manusia dengan system komunikasi hewan. 

10.Kebudayaan merupakan hasil komunikasi.
Inti dasar kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan di atas adalah segala sesuatu dalam rangka kehidupan masyarakat sebagai hasil proses belajar. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah ide, tindakan, dan hasil karya manusia. Ketiga-tiganya tercipta dan menjadi bermanfaat dalam kehidupan manusia karena interkasi antar manusia di dalam masyarakat itu. Interaksi manusia hanya akan dapat terwujud apabila terjadi komunikasi. Tiada interaksi tanpa komunikasi. Itulah sebabnya interaksi sering diasosiasikan dengan komunikasi.

11.Perubahan kebudayaan mempengaruhi perubahan bahasa.
Hubungan antara bahasa dengan kebudayaan yang masih sangat perlu mendapat perhatian adalah mengenai perubahan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya. Perubahsan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya lebih menonjol pada aspek leksikon (kosakata) daripada aspek-aspek linguistik lain baik mengenai bentuk maupun mengenai makna leksikon itu.












Daftar Pustaka

Beratha, Ni Luh Sutjiati.1998 “Materi Linguistik Kebudayaan” dalam Linguistik edisi 9, September 1998. Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana. Hal 45.

Koentjaraningrat.1980 Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.

Verhaar, J.W.M.1999 Asas-asas Linguistik Umum, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 3-8.

1 komentar: