Jumat, 02 Mei 2014

Kohesi




Analisis Wacana
Kohesi


Oleh:
Yasirly Amrina (0910722031)
Novitriani (0910721008)
 



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Wacana mengkaji satuan yang lebih luas, wacana juga memperhatikan penggunaan bahasa dalam konteksnya. Wacana juga merupakan hasil dari rekaman komunikasi yang dituangkan secara lisan maupun tulisan. Dalam komunikasi, bahasa akan berada di dalam konteksnya, yaitu unsur-unsur yang mempengaruhi situasi kebahasaan itu sendiri.
Wacana yang sesuai dengan teks dan konteksnya dibangun dari struktur internal wacana itu sendiri. Salah satu unsur internal tersebut adalah kohesi. Kalimat yang dipakai dalam wacana bertautan, pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berurutan. Kohesi adalah aspek yang membuat teks atau wacana menjadi padu. Aspek tersebut jugalah yang membuat wacana dapat dikatakan baik. Jadi wacana yang utuh adalah wacana yang kohesi dan koherensi.
Aspek yang terdapat di dalam kohesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kedua kohesi ini dibagi lagi menjadi aspek-aspek yang lebih kecil. Banyaknya unsur yang membangun wacana merupakan kajian dalam analisis wacana. Bagaimana wacana dibangun dan unsur-unsur apa yang membangun wacana sehingga wacana tersebut menjadi padu dan bermakna ututh. Kajian yang banyak tersebutlah yang menjadi alasan dalam penulisan makalah ini.
1.2.  Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka masalah yang ada adalah:
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan kohesi?
1.2.2. Aspek-aspek apa saja yang berada di dalam kohesi?

1.3.  Batasan Masalah
Dari masalah yang ada, maka batasan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1. Menjelaskan pengertian kohesi.
1.3.2. Menjelaskan aspek-aspek kohesi di dalam wacana.

BAB II
PEMBAHASAN
Kohesi merupakan aspek-aspek yang membentuk sebuah wacana sehingga wacana tersebut menjadi utuh. Menurut Halliday (dalam Oktavfianus, 2006:53) kohesi merupakan hubungan semantis yang ada dalam suatu teks. Aspek tersebut membentuk makna di dalam wacana menjadi berhubungan. Tarigan (1987) menjelaskan lebih lanjut bahwa kohesi mengacu kepada aspek formal bahasa dalam wacana.
Aspek formal bahasa dalam wacana berupa susunan kalimat-kalimat yang membentuk kesatuan menjadi wacana. Susunan kalimat dalam hal ini adalah hubungannya di dalam wacana secara gramatikal maupun leksikal. Hubungan tersebut dapat bersifat kohesif bila sesuai dengan situasi dalam bahasa. Dengan kata lain ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan konteks, akan menghasilkan teks yang tidak kohesif (James dalam Tarigan, 1987:97).
Menurut Oktafianus (2006:53), kohesi akan muncul apabila interpretasi suatu unsur tergantung pada unsur lain dalam suatu teks atau wacana. Kohesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal terdiri dari referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, sedangkan kohesi leksikal terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan kolokasi. Menurut Halliday dan Hasan (dalam Trigan, 1987:97-103), pembagian kohesi tersebut dibagi menajadi lima aspek sarana kohesi yaitu pronomina, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal.
Dari kedua pembagian aspek kohesi tersebut terdapat beberapa aspek yang sama, disamping itu terdapat aspek yang dimiliki satu pendapat tetapi tidak dimiliki pendapat lain, begitu juga sebaliknya. Jika pembagian menurut kedua ahli tersebut digabungkan, maka aspek kohesi terdiri dari (1) kohesi gramatikal yang terdiri dari referensi, pronomina, substitusi, elipsis, konjungsi, dan (2) kohesi leksikal yang terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan kolokasi. Berikut ini adalah penjelasan aspek-aspek sarana kohesi.
2.1.  Referensi
Referensi adalah hubungan antara simbol dengan benda yang diacu (Ogden dan Richards dalam Oktafianus, 2006:53). Referensi merupakan hubungan antara kata dengan benda yang diterangkannya. Dengan kata lain, referensi merupakan hubungan bahasa dengan dunia atau semesta dimana ia dipakai dan berkembang. Referensi merupakan satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau mengikutinya. Artinya suatu kalimat mengacu pada kalimat lainnya dengan satu referensi yang sejalan. Terdapat yang diacu dengan yang mengacu.
Referensi dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
2.1.1.      Referensi berdasarkan tempat acuannya
Referensi berdasarkan acuan ini adalah berkaitan mengenai dimana acuan referensinya terletak. Referensi berdasarkan tempat acuan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama, pengacuan endofora. Satuan yang diacu dalam pembagian ini terletak di dalam teks. Bagian ini juga dibagi lagi menjadi: (1) anafora, merupakan satuan yang mengacu terletak setelah satuan yang diacu. Contonya dalam kalimat Ayah berangkat ke kantor dengan mobil, ia tidak mengendarai mobil sendiri. Dalam contoh ini dapat dilihat pengacunya (ia) terletak setelah satuan yang diacu (ayah). Dan (2) katafora, adalah satuan yang mengacu terletak sebelum satuan yang diacu. Contohnya Dia tidak mampu menahan berat badannya, oleh karena itu adik terjatuh dari ayunan.
Kedua, pengacuan eksofora. Pengacuan ini adalah apabila satuan yang diacu terletak di luar teks.
2.1.2.      Referensi berdasarkan tipe satuan lingual
Pertama refensi personal. Refensi personal mencakup tiga kelas kata ganti diri (pronomina), yaitu kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, dan kata ganti orang ketiga. Bentuk-bentuk kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Pronomina
Tunggal
Jamak
Orang pertama
Saya, aku, dan daku
Kami dan kita
Orang kedua
Anda, kamu, saudara, engkau, dll.
Kalian, anda, sekalian, dll
Orang ketiga
Dia, ia, dan beliau
Mereka

Kedua refensi demonstratif. Menurut Kridalaksana (2008) demonstrativa adalah kata yang dipakai untuk menunjukkan atau menandai secara khusus orang atau benda. Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk-bentuk demonstrativ berikut ini: (1) Pronomina demonstratif waktu, waktu kini (kini dan sekarang), lampau (kemarin dan dulu), akan datang ( besok dan yang akan datang), dan waktu netral (pagi dan siang), dan (2) pronomina demonstratif tempat, mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit nama tempatnya.
Ketiga refensi komparatif. Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kemiripan dalam persamaan sifat, sikap, watak, perilaku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk kataperbandingan dalam bahasa Indonesia adalah: seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.
2.2.  Pronomina
Aspek ini juga terdapat dalam bagian aspek referensi. Pronomina dalam bahasa Indonesia adalah (1) kata ganti diri, seperti saya, aku, kita, kami, kalian, engkau, anda, dll, (2) kata ganti penunjuk, seperti ini, itu, sini, situ, sana, di sini, di situ, dll, (3) kata ganti empunya, seperti –ku, -mu, -nya, dll, (4) kata ganti penanya, seperti apa, siapa, mana, dll, (5) kata ganti penghubung, dalam bahasa indonesia adalah yang, (6) kata ganti tak tentu, seperti siapa-siapa, masing-masing, sesuatu, seseorang, dan para.
2.3.  Subtitusi
Subtitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksan, 2008). Substitusi merupakan hubungan gramatikal yang lebih bersifat dengan hubungan kata dan makna. Subtitusi dalam bahasa Indonesia bersifat nominal, verbal, klausa, atau campuran, seperti sama, seperti itu, sedemikian rupa, begitu, melakukan hal yang sama, dll.
Contoh:
Tahun lalu kami mengunjungi candi Borobudur. Hari ini tepat setahunnya, kami kembali melakukan hal yang sama.
Penggunaan bentuk melakukan hal yang sama dalam teks di atas merupakan bentuk substitusi. Penggunaan bentuk tersebut dimaksudkan memperoleh unsur berbeda dari bentuk yang pertama.
2.4.  Elipsis
Elipsis merupakan peniadaan kata atau satuan lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 45). Elipsis juga dapat dikatakan penggantian nol (zero), yaitu sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Menurut Tarigan, elipsis dibedakan menjadi elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal (dalam Tarigan, 1987:57). Contohnya dapat dilihat dalam dialog berikut:
A       : Mau pergi kemana Bu?
B       : Ke pasar.
Dalam kalimat jawab yang seharusnya adalah Saya mau pergi ke pasar, tetapi dalam contoh dialog di atas tidak demikian. Penggunaan kalimat yang diungkapkan B telah dapat diterima dan dimengerti oleh lawan tuturnya, karena tuturan tersebut telah menyampaikan makna yang utuh. Oleh karena itu, dalam dialog tersebut tidak lagi membutuhkan penggunaan yang lengkap dan adanya aspek elipsis.
2.5.  Konjungsi
Konjungsi adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, serta paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984: 105). Konjungsi terdiri atas, (1) konjungsi koordinatif, seperti dan, atau, tetapi. (2) konjungsi subordinatif, seperti meskipun, kalau, sebelum, supaya, sebab, dll. (3) konjungsi korelatif, seperti entah, baik, maupun, dll.
2.6.  Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini:
2.5.1.      Repetisi
Menurut Oktafianus (2006:63), repetisi merupakan pemunculan bentuk yang sama yang mengacu ke makna yang sama dalam suatu wacana. Repetisi memiliki berbagai peran seperti sebagai penegas, penciptaan gaya bahasa dan pengungkapan perasaan emosi, karenanya repetisi bukan hanya pengulangan bentuk tetapi berperan pragmatis yang maknanya bergantung pada konteks. Berikut ini adalah contoh adanya bentuk pengulangan di dalam teks yang bersifat sebagai penegas.
Contoh :
Apa! Apa kau sudah gila Tono? Baru kemaren kau dari rumahku, sekarang kau mau minjam uang lagi. Apa kau sudah gila!
2.5.2.      Sinonim
Sinonim merupakan persamaan arti tetapi memiliki bentuknya berbeda. Kekayaan budaya dan intensitas kontak dengan bahasa lainnya menentukan warna persinoniman dalam suatu bahasa (Oktafianus, 2006:64).
Contoh :
Pola hidup masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa. Cara keseharian mereka disibukkan dengan pekerjaan kantor dan sebagainya.
2.5.3.      Antonim
Antonim adalah lawan kata. Suatu wacana yang dinamis juga sering menempatkan kohesi leksikal secara fleksibel dan variatif dengan mempertentangkan makna yang berlawanan (Oktafianus, 2006:64).
Contoh :
Tidak ada yang tidak mungkin sari, meskipun dia langit dan kamu bumi. Cinta sejati tidak akan memandang apapun.
2.5.4.      Hiponim
Menurut Oktafianus (2006:64), hiponim adalah hubungan kata-kata yang bersifat generik ke kata-kata yang lebih spesifik. Penggunaan hiponim dimaksudkan untuk menghindari pengulangan kata-kata yang sama muncul dan membentuk suatu medan makna sehingga ia dapat digunakan untuk membangun suatu wacana yang memiliki variasi bentuk leksikal. 
Contoh :
Bayam, kangkung, dan kol. Semua sayuran itu adalah kesukaanku.
2.5.5.      Kolokasi
Kolokasi merupakan persandingan kata. Kata-kata yang bersanding memilki satu atau lebih ciri yang sama. Misalanya buku, koran, majalah, dan media massa. Semua bentuk tersebut adalah kolokasi, karena sama-sama bahan bacaan.



BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Dari penjelasan di dalam makalah ini dapat disimpulkan: wacana yang terdiri dari gabungan unsur-unsur dan gabungan makna dibentuk dan diseragamkan oleh kohesi beserta aspeknya. Aspek-aspek yang berda dalam kohesi adalah aspek gramatikal dan aspek leksikal. Aspek gramatikal terdiri dari pronomina, referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi. Selanjutnya adalah kohesi leksikal yang terdiri dari repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan kolokasi. Semua aspek tersebut berada dalam wacana atau teks. Aspek tersebut membangun teks atau wacana menjadi padu dan sesuai dengan koteks dan konteks.
3.2.  Saran
Dalam penulisan makalah ini terdapat ketidak sempurnaan bahan dan penjelasan. Oleh karena itu makalah ini tentunya dapat mendorong penulis-penulis lain untuk melengkapi dan menjelaskah topik bahasan dengan lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA
Oktafianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.
Tarigan, H. G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit Angkasa.

2 komentar:

  1. Thanks, ijin copas buat belajar

    BalasHapus
  2. wahh sgt bermanfaat, btw mksh ya infonya. ijin copas untuk tugas :)

    BalasHapus